Mon. Apr 28th, 2025

Rasa sakit kronis sering kali dianggap sebagai gejala fisik semata. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, semakin banyak bukti ilmiah menunjukkan bahwa trauma emosional masa lalu dapat memperkuat atau bahkan memicu kondisi nyeri yang berlangsung lama. Hubungan antara keduanya melibatkan sistem saraf, hormon stres, dan respons tubuh terhadap ancaman psikologis. Berikut dalam artikel ini akan membahas tentang Hubungan antara rasa sakit kronis dan trauma emosional.

Apa Itu Sakit Kronis?

Sakit kronis adalah nyeri yang berlangsung lebih dari tiga bulan dan tidak selalu berkaitan dengan cedera fisik yang jelas. Kondisi ini bisa muncul di punggung, kepala, leher, sendi, atau bahkan secara menyeluruh di tubuh seperti pada fibromyalgia. Sering kali, tes medis tidak menemukan penyebab struktural yang jelas, sehingga banyak penderita merasa frustasi dan tidak mendapatkan penanganan yang sesuai.

Trauma Emosional dan Respons Tubuh

Ketika tubuh mengalami trauma, sistem saraf masuk ke mode pertahanan—dikenal sebagai fight, flight, atau freeze. Jika respons ini berlangsung terlalu lama atau tidak terselesaikan, tubuh menyimpan “jejak trauma” yang dapat muncul dalam bentuk fisik.

Penelitian menunjukkan bahwa trauma masa kecil (Adverse Childhood Experiences/ACE) berhubungan erat dengan peningkatan risiko berbagai penyakit kronis di usia dewasa, termasuk nyeri kronis, gangguan autoimun, dan penyakit jantung.

Jalur Neurobiologis antara Emosi dan Nyeri

Sistem limbik di otak, terutama amigdala dan hipokampus, memproses emosi dan pengalaman trauma. Saat trauma terjadi, amigdala menjadi sangat sensitif, sedangkan hipokampus (yang berfungsi menenangkan reaksi stres) bisa melemah.

Akibatnya, seseorang menjadi lebih waspada dan rentan mengalami “reaksi berlebihan” terhadap stres, termasuk nyeri fisik. Sistem saraf otonom juga tetap berada dalam keadaan aktif (hyperarousal), menyebabkan otot-otot menegang secara terus-menerus. Ketegangan ini memicu peradangan mikro, menurunkan ambang toleransi nyeri, dan memperkuat persepsi terhadap rasa sakit.

Pengaruh Hormon Stres

Ketika trauma tidak terselesaikan, kadar kortisol dan adrenalin cenderung tetap tinggi. Hormon-hormon ini sebenarnya membantu tubuh merespons bahaya, tetapi jika dibiarkan dalam waktu lama, justru merusak jaringan tubuh dan memperburuk persepsi nyeri. Akibatnya, penderita trauma emosional sering kali mengalami kelelahan kronis, gangguan tidur, dan sensitivitas berlebihan terhadap rangsangan ringan.

Pendekatan Pengobatan yang Holistik

Mengobati sakit kronis akibat trauma tidak cukup hanya dengan terapi fisik atau obat pereda nyeri. Diperlukan pendekatan yang menyeluruh, termasuk pemulihan emosi dan regulasi sistem saraf.

Beberapa pendekatan yang terbukti efektif meliputi:

  • Terapi somatik: Fokus pada kesadaran tubuh dan pelepasan ketegangan yang tersimpan akibat trauma.

  • Psikoterapi berbasis trauma: Seperti terapi kognitif perilaku (CBT) khusus untuk trauma atau terapi naratif.

  • Mindfulness dan meditasi: Melatih tubuh dan pikiran untuk berada di masa kini, mengurangi respons terhadap stres lama yang belum terselesaikan.

  • Latihan fisik ringan: Seperti yoga atau tai chi, untuk memperkuat koneksi tubuh-pikiran dan menenangkan sistem saraf.

Kesimpulan

Hubungan antara rasa sakit kronis dan trauma emosional bersifat kompleks dan saling memengaruhi. Tubuh menyimpan jejak pengalaman emosional yang belum terselesaikan, dan ini dapat bermanifestasi dalam bentuk nyeri berkepanjangan. Oleh karena itu, memahami dan mengatasi trauma bukan hanya penting bagi kesehatan mental, tetapi juga merupakan langkah krusial dalam pemulihan dari rasa sakit kronis. Pendekatan yang menyatukan tubuh, pikiran, dan emosi akan memberi hasil yang lebih efektif dan berkelanjutan.